![]() |
Izzar |
Kekhawatiran tersebut merupakan sesuatu yang cukup wajar, karena selain pemberian kewenangan Desa juga mendapatkan alokasi anggaran yang cukup besar baik dari APBD maupun dari APBN. Berdasarkan skema alokasi anggaran sebagaimana diatur oleh Undang-undang, desa akan mengelola paling sedikit Rp. 1 miliar.
Untuk menjawab Kekhawatiran tersebut, pemerintah desa harus menjadikan pemberian kewenangan mengelola anggaran yang cukup besar tersebut untuk membangkitkan kembali fungsi-fungsi layanan pemerintah desa. Selain itu, agar sumberdaya yang besar tersebut bisa optimal maka desa harus mampu merancang rencana pembangunan yang terintegrasi dengan sumber keuangan desa yang ada (one village, one plan dan one budget).
"Oleh karena itu, agar seluruh kegiatan desa dapat berjalan secara transparan dan akuntabel, pada tataran kelembagaan desa, di samping keberadaan Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), harus melakukan musyawarah secara partisipatif dalam setiap penyusunan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desa," Ungkap Aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Karawang, E. Izzar, kepada Karawang Publik.com, Jumat (25/03).
Melalui undang-undang Desa dalam menyusun kebijakan pembangunan wajib melibatkan masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 82 yang mengatur tentang mekanisme perencanaan pembangunan di Desa. Keterlibatan masyarakat tidak hanya pada saat proses perencanaan, akan tetapi dalam undang-undang ini juga mensyaratkan keterlibatan masyarakat dalam tahap pelaksanaan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan, sehingga desa dapat mengembangkan bagaimana monitoring dan evaluasi pembangunan partisipatif yang menekankan keterlibatan masyarakat.
"Masalah perencanaan dan pelaksanaan pembangunan selama ini adalah minimnya keterlibatan masyarakat, tidak adanya informasi yang memadahi bagi masyarakat sehingga hal inilah yang membuka ruang terjadinya penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintahan desa," Ujar Izzar.
Selain itu, lanjut dia, minimnya kapasitas pemerintah desa didalam menyusun dokumen-dokumen perencanaan juga menjadi masalah tersendiri dan berakibat tidak efektifnya penggunaan anggaran desa. Berapapun anggaran yang masuk ke desa, ketika kemampuan pemerintah desa dalam merencanakan pembangunan tidak memadai maka anggaran yang besar tersebut tidak akan membawa manfaat apa-apa justru akan menjadi masalah secara hukum.
"Persoalan mendasar lainnya ditingkat desa yaitu tidak maksimalnya fungsi-fungsi pelayanan publik oleh pemerintahan desa. Salah satunya alasan yang cukup mengemuka adalah ketidakjelasan status perangkat desa yang merupakan aparat pemerintah tetapi tidak mendapatkan tunjangan yang memadai, hal ini bisa memicu pemerintah desa menjadi tikus-tikus kecil atau tikus desa yang menggrogoti anggaran bantuan dari pemerintah pusat maupun pemkab," Terangnya.
Untuk itulah, terang dia, melalui undang-undang desa ini salah satunya mengatur hak perangkat desa untuk mendapatkan tunjangan melalui alokasi anggaran ke desa, dimana 30 persen dialokasikan untuk biaya operasional desa dan 70 persen untuk pembangunan. "Dengan skema tersebut, tidak ada lagi alasan bagi desa untuk tidak meningkatkan pelayanan kepada masyarakat," Tungkasnya.(Red)
No comments:
Post a Comment